(c) shutterstock.com
Ayah dan ibuku masih
memelihara kebiasaan lamanya yaitu sarapan bersama dengan hidangan yang
cukup beragam karena ibuku tahu bahwa ayah tidak suka makanan yang tidak
banyak sayur dan buah. Di hari kepulanganku, ibu menyajikan kue lumpur
yang super gosong.
Kalau dipikir-pikir, mungkin ayah tak akan
memakan kue lumpur tersebut walau itu adalah kue kesukaannya. Namun,
pada akhirnya ia tetap memakan dengan lahap sambil tersenyum dan
mendengarkan cerita ibuku atau aku. "Bagaimana Jogja?" kata ayah masih
sempat bertanya padaku.
"Baik, Pak. Betah kok kerja di sana," jawabku.
Namun
dibanding menjawab pertanyaannya, aku lebih memilih untuk mengamati
ekspresinya. Ia tidak kelihatan senang dengan terpaksa di depan istrinya
saat makan kue lumpur itu.
Aku ingat, beberapa tahun lalu saat
adikku masih balita, pekerjaan rumah ibu banyak sekali. Kadang ia masak
sampai gosong, keasinan, lupa garamkarena banyaknya yang ia lakukan,
yang mana anak-anaknya akan menyisakan makanan itu di piringnya. Namun
ayahku tidak, dia akan menghabiskannya, bahkan meminta kami ikut
menghabiskan juga.
Tapi saat itu aku hanya tahu bahwa itu tentang
'tidak membuang-buang makanan'. Kini, aku tahu alasan yang lebih besar
dari semua itu.
Siang itu juga, ayah mengajakku memancing di kolam
umum dekat rumah. Kami berbekal pisang goreng buatan ibu. Kali ini
lagi-lagi agak gosong. Maka, kutanyakan pada ayah, mengapa ayah suka
makanan gosong. Dan begini jawabannya.
"Sejak menikah, ibumu
berusaha keras menjadi istri terbaik bagi ayah. Mulai dari ia belajar
memasak hingga anak-anaknya lahir ke dunia, ia tak hanya menjadi istri,
tapi juga jadi ibu," kata Ayah sambil menerawang ke arah pancingannya.
"Banyak
pekerjaan yang dia lakukan. Ada yang benar, ada yang berantakan.
Ketidaksempurnaan seringkali membuat kita berpikir negatif," Ayah
melihat ke arahku. "Namun karena Ayah melihat cinta dalam setiap jerih
payah ibumu, semuanya nampak indah dan enak. Iya to?" ujarnya sambil
tergelak dan menyenggol tanganku.
"Pisang goreng ini kesukaanmu,
kan? Mungkin kamu hanya tahu kalau pisangnya gosong. Tapi, ayah tahu
kalau ibu sudah merencanakan membuat pisang ini jauh-jauh hari. Rela ke
pasar untuk cari pisang bagus, tidak nitip ke tukang sayur," kata ayah
dengan senyum penuh makna.
Ia seperti bisa membaca pikiranku
mengapa aku bertanya hal ini padanya. Aku cengengesan dengan agak
tersipu malu. Ayah merangkul pundakku dan berkata, "Ibumu itu wanita
hebat yang sudah bekerja sangat keras demi keluarga ini. Dia layak
mendapatkan cinta yang bertubi-tubi. Lagipula, pisang goreng gosong
sedikit nggak akan bikin sakit hati, to?"
"cinta
itu bukan tentang sempurna atau tidak sempurna, namun berusaha membuat
sebuah hubungan selalu sehat, tumbuh dewasa dan tahan hingga
selama-lamanya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar